Annyonghaseyo

Saturday, October 15, 2011

Kasus produksi Kelapa Sawit

Membuka usaha bisnis merupakan suatu peluang usaha yang sangat bagus, apalagi usaha tersebut sangat di butuhkan di masyarakat luas. Tetapi dengan adanya usaha baru, juga banyak pabrik –pabrik atau tempat untuk membuka usaha tersebut dengan tidak memikirkan dengan jangka panjang atau secara matang tentang lingkungan sekitarnya.. Seperti halnya di daerah jambi.

Perluasan perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan perkebunan swasta atau masyarakat petani di Provinsi Jambi meningkat tajam. Berlomba-lomba membuka perkebunan kini menjadi trend di Jambi. Para pengusaha ibukota, pejabat kini banyak turun gunung membukaan lahan perkebunan untuk investasi masa tua. Namun pembukaan lahan diduga dengan cara membakar dengan melibatkan petani setempat. 

Bahkan kegiatan pembakaran hutan dan lahan dalam rangka membuka atau membersihkan areal perkebunan kelapa sawit selama ini telah banyak merusak kawasan konservasi, hutan lindung dan taman nasional. Selain itu pembakaran hutan dan lahan juga menyebabkan bencana asap serta memusnahkan beraneka jenis spesies satwa, termasuk satwa langka dilindungi, orangutan. 

Informasi miring kerusakan lingkungan akibat pembangunan perkebunan kelapa sawit ini ternyata telah berembus ke mancanegara. Beberapa negara produsen minyak nabati di Benua Amerika dan Eropa menjadikan isu kerusakan lingkungan hidup tersebut untuk menjegal produk minyak sawit Indonesia di pasar internasional. 


Importir eropa menjadikan isu kerusakan lingkungan menjadi kampanye negatif terhadap produk sawit Indonesia. Isu kerusakan lingkungan akibat perluasan perkebunan kelapa sawit, berpotensi mempersulit pemasaran minyak sawit Indonesia. 

Demikian dipaparkan Direktur Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian, Rachmat Manggabarani, pada seminar Optimalisasi Pengembangan Industri Kelapa Sawit di Jambi, Juli lalu. Menurutnya, dunia internasional bisa menolak produk minyak sawit Indonesia jika terbukti adanya kahancuran kawasan konservasi dan satwa langka akibat pembangunan perkebunan kelapa sawit. 

Disebutkan, kawasan hutan di Provinsi Jambi banyak yang rusak akibat kegiatan pembakaran untuk pembukaan dan pembersihan kebun sawit. Hingga kini kegiatan pembakaran hutan dan lahan itu masih sering terjadi. 

Pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, khususnya di Jambi sering dinyatakan sebagai salah satu biang keladi kerusakan lingkungan hidup. Pernyataan seperti itu berkembang karena pembangunan perkebunan kelapa sawit selama ini cenderung mengabaikan kelestarian lingkungan.

Guna menjamin kelancaran pasar minyak sawit di pasaran dunia, pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia harus benar-benar peduli keles- tarian lingkungan hidup. Para pengusaha perkebunan diharapkan tidak merusak hutan lindung, kawasan konservasi dan membunuh satwa langka dalam proses pembangunan kebun. 

Salah satu caranya, tidak menggarap kawasan konservasi dan hutan lindung menjadi kebun kendati areal tersebut masuk lahan perusahaan. Kalaupun pengusaha menemukan kawasan konservasi dan satwa langka di lahan yang bakal diolah menjadi kebun, kawasan konservasi dan satwa langka tersebut harus diselamatkan. 

Diakui, pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia turut andil dalam perusakan lingkungan. Perusakan lingkungan itu antara lain akibat pembakaran hutan dan lahan dalam pembukaan dan pembersihan perkebunan kelapa sawit. Sampai sekarang masih terjadi pembakaran dalam proses pembangunan kebun sawit seperti terjadi di Kalimantan. Pembakaran ini juga dianggap mematikan satwa langka dilindungi, yakni orang utan. 

Sementara itu Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Derom Bangun mengakui adanya ancaman kelancaran pemasaran. Kampanye negatif tentang perkebunan kelapa sawit yang digencarkan di dunia internasional menghambat pasar minyak sawit Indonesia di pasaran dunia. Hal ini terjadi karena dunia cen- derung bersikap menolak seti-ap produk yang tidak ramah lingkungan, termasuk produk minyak nabati. 


Kampanye negatif tentang sawit Indonesia tersebut berupa pernyataan-pernyataan yang menyebutkan bahwa pembangunan kebun sawit di Indonesia merusak lingkungan. Kerusakan lingkungan itu antara lain peningkatan emisi karbon akibat kebakaran hutan dan lahan dan pemusnahan spesies sawta langka seperti orang utan. 

Perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia harus bertanggung jawab terhadap pelestarian lingkungan, penyelamatan kawasan konservasi dan keragaman hayati. Hal ini penting agar peningkatan produksi minyak sawit Indonesia tidak merosot akibat penolakan penolakan di pasar internasional. 

Dikatakan, Indonesia berpotensi menjadi pemasok minyak sawit di dunia di masa mendatang. Hal ini tampak dari peningkatan produksi dan ekspor minyak sawit Indonesia beberapa tahun ini. 

Produksi minyak sawit Indonesia tahun 2006 mencapai 15,9 juta ton. Produksi minyak sawit tersebut lebih tinggi dibanding produksi minyak sawit Malaysia sekitar 15,88 juta ton, Kolombia (711.000 ton), Nigeria (815.000 ton), Thailand (820.000 ton) dan negara-negara lainnya 2,7 juta ton. 

Sedangkan ekspor minyak sawit Indonesia tahun 2006 mencapai 12,10 juta ton atau lebih tinggi dibanding ekspor minyak sawit tahun 2005 sekitar 10,38 juta ton. Untuk menyelamatkan pasar minyak sawit Indonesia di pasaran internasional, para pengusaha perkebunan sawit dan pemerintah daerah harus benar-benar peduli kelestarian lingkungan. 

Cara yang perlu ditempuh untuk itu, yakni mengakhiri pembakaran untuk pembukaan dan pembersihan lahan, melestarikan kawasan konservasi yang berada di areal kebun mereka dan menghentikan pembukaan kebun di kawasan hutan lindung dan taman nasional.

Kehadiran pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS) tanpa kebun di Jambi memicu maraknya pencurian buah sawit. Akibatnya, PKS milik perusahaan perkebunan sawit banyak yang kekurangan bahan baku dan tidak berproduksi maksimal. 

Pengusaha pengolahan kelapa sawit atau pabrik crude palm oil (CPO) di Jambi saling sikut guna memenuhi pundi-pundi uang mereka dari hasil kebun sawit. Mereka berebut untuk memonopoli tata niaga sawit agar untuk usaha sawit tidak menetes ke pengusaha lain. 

Pabrik CPO yang memiliki kebun sendiri berusaha menjamin ketersediaan bahan baku tandan buah segar (TBS) sawit untuk pabrik CPO mereka dari produksi sawit petani mitra binaan (plasma). 

Mereka ingin agar petani binaan tidak menjual TBS sawit ke perusahaan lain. Hal ini dilakukan agar kredit petani binaan bisa mereka potong langsung dari hasil penjualan TBS. Pola pemotongan kredit itu memang sudah menjadi kesepakatan antara pengusaha, petani dan perbankan sebelum kebun sawit dibangun. 

Untuk mengikat agar para petani binaan tidak menjual TBS sawit mereka ke perusahaan lain, maka para pengusaha bersedia menetapkan harga TBS sawit dua kali sebulan bersama petani dan pemerintah. Dengan demikian, harga TBS sawit di seluruh Provinsi Jambi sama. Keseragaman harga TBS itu diharapkan tidak membuat petani binaan pengusaha tergiur menjual TBS mereka ke perusahaan lain.

Namun, upaya tersebut dikacaukan oleh pabrik CPO tanpa kebun, yang selalu membeli TBS sawit di atas harga TBS sawit se-Provinsi Jambi yang ditetapkan pengusaha, petani dan pemerintah. Akibatnya, banyak petani plasma menjual TBS sawit mereka ke pabrik CPO tanpa kebun. Hal itu terjadi karena pabrik CPO tanpa kebun di Jambi bertambah banyak dan menyebar di beberapa kabupaten. 

Menjamurnya pabrik pengolahan kelapa sawit tanpa kebun di Provinsi Jambi menimbulkan keresahan bagi pemerintah dan perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit besar di daerah tersebut. Keresahan itu muncul karena kehadiran pabrik CPO tanpa kebun tersebut dinilai merugikan perusahaan, pemerintah dan petani. 

Pabrik CPO tanpa kebun sawit tersebut cenderung memicu maraknya pencurian dan perdagangan ilegal TBS sawit. Kemudian pabrik CPO tanpa kebun juga biasanya hanya melakukan eksploitasi hasil perkebunan sawit tanpa peduli kelanjutan pembangunan kebun petani, perbaikan infrastruktur dan kestabilan harga TBS sawit. Bahkan mereka membuka peluang maraknya pencurian TBS dan terjebaknya petani sawit pada praktik ijon tengkulak. 

Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, H Ali Lubis pada seminar sehari Optimalisasi Pengembangan Industri Kelapa Sawit di Jambi baru-baru ini mengatakan, kehadiran pabrik CPO tanpa kebun menimbulkan banyak dampak negatif dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit di Jambi. 

Dampak negatif paling menonjol dan banyak meresahkan saat ini adalah kekacauan tata niaga TBS sawit di Jambi. Kekacauan tata niaga TBS itu terjadi karena pabrik CPO tanpa kebun tidak mematuhi kesepakatan harga TBS yang ditetapkan petani, pengusaha dan pemerintah. Pabrik CPO tanpa kebun menyebabkan terjadinya persaingan tidak sehat dalam mendapatkan atau pembelian bahan baku TBS untuk pabrik CPO mereka. 

Cara-cara seperti itu dilakukan karena memang masih kekurangan bahan baku. Sebanyak 10 unit pabrik CPO tanpa kebun di Jambi memiliki kebutuhan 435 ton TBS per hari agar usahanya bisa eksis. Berarti dalam setahun, ke-10 PKS tanpa kebun tersebut membutuhkan 2,61 juta ton TBS sawit. 


Selama ini pabrik CPO tanpa kebun itu memenuhi kebutuhan TBS sawit dari para petani sawit swadaya (perseorangan) atau petani yang tidak bermitra dengan pengusaha sawit. Tetapi pasokan TBS sawit dari kebun sawit swadaya masyarakat tersebut sama sekali belum mampu memenuhi kebutuhan ke-10 unit pabrik CPO tanpa kebun tersebut. 

Sekitar 91.000 hektare (ha) kebun sawit swadaya petani di daerah itu baru mampu menghasilkan TBS saat ini 235.539 ton per tahun. Dengan demikian, pabrik CPO tanpa kebun masih kekurangan pasokan TBS hingga 760.000 ton per tahun. Untuk memenuhi tambahan pasokan itu, pabrik CPO tanpa kebun terpaksa menaikkan harga TBS di atas harga kesepakatan bersama petani dan pengusaha. 

Hal itu memicu petani yang bermitra dengan perusahaan swasta menjual sawit mereka ke pabrik CPO tanpa kebun. Kemudian pabrik CPO yang memiliki kebun sawit pun kekurangan bahan baku karena banyak TBS petani mitra mengalir ke pabrik CPO tanpa kebun. Akibatnya, kredit petani tidak bisa dipotong oleh perusahaan mitra mereka. 


            

Keadaan ini membuat koperasi unit desa yang selama ini menjadi jembatan usaha petani dengan perusahaan perkebunan sawit tidak berfungsi. Kemudian pabrik CPS tanpa kebun juga tidak memiliki beban moral membina petani. Baik itu dalam peningkatan produksi melalui pemupukan, peremajaan dan penanganan pasca panen. 

Ali Lubis mengakui, ketamakan pabrik CPO tanpa kebun tersebut juga memicu maraknya pencurian TBS karena mereka berani membeli TBS dengan harga tinggi dan cenderung tidak mempermasalahkan asal-usul TBS yang mereka beli. Para pencuri pun bebas menjual TBS hasil jarahan mereka. Sasaran pencurian kebun sawit tersebut tidak hanya kebun petani, tetapi juga kebun perusahaan. 

Disebutkan, petani banyak mencuri TBS di desa desa karena berebutnya pabrik CPO untuk mendapatkan TBS. Hal itu tidak menutup kemungkinan terjadinya pencurian TBS yang masih muda. Pemanenan sawit muda ini akan membuat tanaman sawit rusak," katanya. 

Lebih parah lagi, mengalirnya TBS sawit petani mitra binaan perusahaan lain pemilik kebun ke pabrik CPO tanpa kebun membuat banyak pabrik CPO pemilik kebun tidak berproduksi maksimal. Sebanyak 32 unit pabrik CPO yang memiliki kebun di Jambi dapat mengolah 1.545 ton TBS per jam menjadi CPO. Berarti dalam setahun, seluruh pabrik CPO tersebut membutuhkan 9,27 juta ton TBS. 

Namun pasokan TBS sawit ke-32 PKS tersebut saat ini hanya rata-rata 4,73 juta ton per tahun atau 51 persen. Hal ini menyebabkan sebagian besar PKS bekerja dengan idle capacity (tidak maksimal). Kondisi ini terjadi karena banyaknya PKS tanpa kebun yang menyedot TBS yang seharusnya untuk PKS punya kebun. 

Menurut Ali Lubis, tidak maksimalnya produksi pabrik CPO yang memiliki kebun sendiri menimbulkan terjadinya pengurangan tenaga kerja pabrik CPO. Kondisi ini membuat kehadiran perkebunan kelapa sawit dan pabrik CPO tidak mampu menyerap pengangguran dan menanggulangi kemiskinan.

Selain itu, kehadiran pabrik CPO tanpa kebun juga cenderung merusak jalan ke perkebunan. Hal itu terjadi karena mobil-mobil tengkulak yang melintasi jalan-jalan perkebunan biasanya tidak peduli kerusakan jalan. Mereka pun jarang memenuhi kewajibannya memberikan retribusi untuk perbaikan jalan di perkebunan. Sebagian besar uang para mobil-mobil tengkulak sawit mengalir ke kantong-kantong oknum yang melakukan pungutan liar di jalan-jalan produksi. 

Kehadiran pabrik CPO tanpa kebun di Jambi juga mendapat sorotan tajam Direktur Jenderal (Dirjen) Perkebunan Departemen Pertanian Achmad Manggabarani. Dia menegaskan, pabrik CPO tanpa kebun banyak berdiri di daerah karena kebijakan pemerintah daerah yang terlalu mudah memberikan izin usaha. Padahal pabrik CPO tanpa kebun tidak diperbolehkan pemerintah. 


Berdasarkan SK Menteri Pertanian No 26 Tahun 2007 tentang penjelasan UU No 18 Tahun 2004, pembangunan pabrik CPO tanpa kebun tidak diperbolehkan. Berdasarkan undang-undang tersebut, pengusaha yang boleh mendirikan pabrik CPO hanya perusahaan yang memiliki kebun sawit. Pengusaha baru bisa mendirikan pabrik CPO jika mereka memiliki kebun sawit. Produksi TBS sawit kebun tersebut minimal mampu memenuhi 20 persen dari kapasitas pabrik CPO.

"Jika kapasitas pabrik CPO mencapai 30 ton TBS per hari, luas kebun sawit yang harus dimiliki paling sedikit 2.000 ha. Kemudian Ppabrik CPO yang mampu menampung lima ton TBS per hari harus terdaftar di pemerintahan daerah. Hal ini penting guna mengetahui data akurat tentang jumlah pabrik CPO, produksi TBS, dan minyak sawit di suatu daerah," katanya.

Para pengusaha pabrik kelapa sawit yang tidak bersedia membangun kebun kelapa sawit harus segera menutup usaha mereka. Kehadiran pabrik kelapa sawit tanpa kebun cenderung menghambat optimalisasi pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. 

Pabrik kelapa sawit tanpa kebun tersebut hanya mencari keuntungan tanpa peduli kepentingan pemerintah, masyarakat dan pengusaha lain. Mereka menuai hasil perkebunan sawit tanpa menanam sawit. Sedangkan perusahaan yang menanam sawit merugi karena harus membangun sawit juga untuk petani.

Asisten II (bidang ekonomi dan pembangunan) Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jambi, H Hasan Kasim mengatakan, pihaknya sedang mengevaluasi 10 unit pabrik kelapa sawit tanpa kebun di daerah itu. Pemprov Jambi memberikan batas waktu Agustus 2007 kepada pengusaha pabrik kelapa sawit tersebut untuk membangun kebun dan menjalin kerja sama dengan perusahaan kebun sawit.


"Bila nanti pabrik kelapa sawit tersebut belum juga membangun kebun dan bekerja sama dengan perusahaan kebun sawit lain, izinnya akan dicabut," tegasnya. 

Pemerintah Provinsi Jambi memberi peringatan kepada perusahaan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang ada di Provinsi Jambi, mulau Januari 2010 minyak kelapa sawit mentah (Cruild Palp Oil/CPO) tidak boleh dijual ke luar Provinsi Jambi. 

Hal itu dilakukan karena selama ini Provinsi Jambi yang dikenal memilki perkebunan sawit cukup luas, tetapi hanya bisa menghasilkan CPO. Sementara yang mendapatkan hasil justru daerah lain. Jambi sendiri sering kekurangan minyak sayur yang menjadi kebutuhan masyarakat setiap hari.

Pemerintah Provinsi Jambi mengusulkan perda mengenai larangan ini. Nantinya CPO ini harus diolah menjadi barang jadi, sehingga saat keluar dari Jambi sudah langsung bisa dipasarkan dengan lebel produksi dari salah satu Kabupaten di Jambi. Sebelum sampai Januari 2010 para pengusaha perkebunan kelapa sawit masih bisa membawa CPO yang dihasilkan ke daerah lain.

Gubernur Jambi akan mengundang semua Bupati dan para pengusaha perkebunan di Provinsi Jambi untuk membicarakan hal ini. Kabupaten yang menghasilkan kelapa Sawit bisa mendirikan satu pabrik pengolah CPO menjadi minyak sayur dan sebagainya, hal ini juga disampaikan di Kabupaten Bungo, dan Kabupaten Batanghari.

Demikian penjelasan Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin di Jambi, Senin (15/9/2008) usai Safari Ramadhan selama tiga hari di Kabupaten Tebo, Sarolangun dan Bungo. Sejumlah Bupati di Provinsi Jambi menyambut positif apa yang disampaikan Gubernur Jambi.

Dengan didirikannya satu perusahan pengolah CPO menjadi produk yang langsung bisa dimanfaatkan akan banyak menyerap tenaga kerja, dengan sendirnya hal ini sudah dapat mengurangi pengguran. 

Sementara itu, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jambi meminta Gubernur Jambi mengkaji ulang kesepakatan Gubernur Jambi, Bupati dan Walikota tentang pelarangan perusahaan menjual minyak mentah kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) ke luar Jambi mulai 2010 mendatang. Larangan penjualan CPO ke luar Jambi itu berimbas kepada petani dengan semakin merosotnya harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit.

Menurut Ketua Dewan Pimpinan Provinsi (DPP) HKTI Jambi, Ir H AR Sutan Adil Hendra, MM Selasa (23/9/2008). Menurutnya, pada dasarnya, HKTI menghargai rencana Gubernur Jambi untuk mengembangkan industri hilir kelapa sawit di Provinsi Jambi. 

“Namun, apakah Gubernur Jambi dapat menjamin tidak akan terjadi penurunan Harga TBS kelapa sawit yang sangat berimbas kepada petani. Jika hal ini terjadi, dikhawatikan bakal menambah angka kemiskinan para petani. Khususnya petani sawit. Sementara saat sekarang saja ongkos produksi sangat tinggi. Mulai dari harga pupuk, obat-obatan hingga biaya perawatan melonjak pasca kenaikan BBM,”katanya.

Disebutkan, kalau harga TBS semakin murah, petani sawit tentu akan semakin menjerit. Padahal, Gubernur Jambi dalam beberapa tahun yang lalu mencanangkan program sawit sejuta hektar. 

“Program sejuta hektar itu telah dilaksanakan masyarakat petani. Tapi, kenapa tiba-tiba Gubernur Jambi merencanakan kebijakan pelarangan penjualan CPO keluar daerah. Sementara CPO adalah komoditi eksport,”katanya.

Menurut Sutan Adil, pengaturan ekspor baik itu berupa pembatasan ekspor atau kenaikan pungutan ekspor (PE) minyak sawit mentah (CPO) akan memicu penyelundupan CPO ke luar negeri. 


"Seharusnya, ekspor dibebaskan. Karena ini akan mempertahankan pangsa ekspor di pasar global, kalau dibatasi nanti akan habis pasarnya. Selama ini, permasalahan yang dihadapi adalah pengembangan industri hilir. Biasanya agar industri hilir maju maka berkembang ide-ide seperti pembatasan ekspor atau dengan menaikkan pungutan ekspornya,”ujarnya.

Disebutkan, jika semakin dilarang penjualan CPO ke luardaerah, akan semakin banyak lubangnya. Dan tidak fair kalau demi yang downstream (industri hilir), upstream (industri hulunya) dilarang.

“Kalaupun Pemprov Jambi berencana mengembangkan industri hilir CPO, hal itu bisa dilakukan dengan memberikan insentif yang besar kepada industri tersebut. Bisa pembebasan pajak pertambahan nilai atau yang lain,”katanya.

Menurut Sutan, hingga 2010 mendatang, pemerintah membutuhkan tambahan 5-6 juta ton kelapa sawit untuk bahan baku biodiesel. Namun dengan rendahnya harga TBS akhir- akhir ini jelas menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam menjamin keamanan harga TBS dan penerima dampaknya jelas petani. 

“Jika Pemprov Jambi berfikir untuk petani, tentunya harga pasaran TBS yang perlu diamankan dan bukan pelarangan membawa keluar daerah yang dibuat. Saya takut saja bapak Gubernur Jambi dimanfaatkan oleh para pengusaha- pengusaha ataupun investor- investor yang menginginkan pengembangan Industri hilir di Provinsi Jambi,”katanya.

Sutan Adil menilai pelarangan perdagangan CPO untuk pengembangan industri hilir yang belum jelas arahnya dinilai akan kontraproduktif. Sebab, pemerintah hingga kini belum memiliki program yang jelas dalam mengembangkan industri hilir CPO.


Menurut catatan Sutan Adil, ekspor CPO selama Januari hingga Oktober 2006 mencapai US$ 3,9 miliar atau tumbuh 23,44 persen dibanding periode yang sama pada 2005, yang hanya membukukan nilai US$ 3,1 miliar. 

“Saya bingung tentang kebijakan tersebut, apa yang menjadi argumen sehingga perusahaan dilarang jual CPO keluar. Kesepakatan gubernur bersama bupati/walikota atas larangan penjualan CPO ke luar Provinsi Jambi, harus dikaji ulang,”katanya.

Disisi lain, sekitar 1,08 juta hektar (ha) hutan di Indonesia mengalami kerusakan setiap tahun akibat ilegal logging, kebakaran serta pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit secara massal. Penjarahan, alih fungsi dan kebakaran terus terjadi dan dinilai masih mengkhawatirkan kondisi hutan di Indonesia. Sementara lahan kritis di Indonesia saat ini tercatat lebih dari 30 juta ha. 

Demikian dikatakan Kepala Pusat Informasi Departemen Kehutanan RI Ir Masyud MM di Jambi dalam sosialisasi “Penanaman Serentak Nasional Seratus Juta Pohon Dalam Rangka Peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional” 2008. 

Disebutkan, aksi penanaman Serentak Indonesia dan Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara Pohon yang dilaksanakan pada tahun 2007 lalu, untuk mengisi acara internasional PBB, yaitu Conference of Parties (COP) 13 United Nation Framework Convention on Climate Change(UNFCCC), yang membicarakan isu pemanasan global dan perubahan iklim.

Aksi penanaman serentak mendapat respon yang besar dari masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan realisasi yang menggembirakan, yaitu dilaporkan sampai dengan awal Juni 2008, Aksi penanaman serentak Indonesia mencapai 86.936.789 pohon, gerakan perempuan tanam dan pelihara pohon mencapai 14.142.500 pohon.

Menurut Masyud, sasaran kegiatan ini adalah untuk menjadikan lahan hijau di dalam dan di luar kawasan hutan agar mampu memberikan fungsi ekologi, nilai estetika dan penyerapan karbon.

Disebutkan, Indonesia berhasil menekan tingkat degradasi hutan yang sebelumnya tingkat degradasi hutan mencapai 2,83 juta ha/tahun. Kini sudah turun menjadi 1,08 juta/tahun (60 persen). Lahan kritis seluas 59,3 juta ha sudah berhasil ditekan menjadi 30 juta ha/tahun. 

Sejak 2004-2007 telah melakukan kegiatan penanaman lebih dari 2 milyar pohon, meliputi Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Indonesia Menanam dan Penghijauan.

Sementara itu, Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin mengatakan, untuk sektor kehutanan, bahwa Provinsi Jambi memiliki kawasan hutan seluas lebih kurang 2.170.440 ha atau 39 persen dari luas Provinsi Jambi.

Wilayah Provinsi Jambi didominasi hutan produksi tetap 938.000 ha, hutan pelestarian alam seluas 648.720 ha, hutan produksi terbatas seluas 340.000 ha serta hutan lindung, suaka alam, dan hutan produksi partisipasi. Lahan kritis di Propinsi Jambi diperkirakan hampir mencapai 1 juta ha.

Disebutkan, masalah utama yang dihadapi menjaga kelestarian hutan di Provinsi Jambi adalah penebangan/pembalakan liar, kebakaran lahan dan hutan. Untuk itu kerjasama dengan pemeritah kabupaten, kepolisian dan instansi terkait lainnya, dan pada tataran internasional juga telah dilakukan kerjasama dengan pemerintah Singapura untuk penanggulangan kebakaran hutan. (Rosenman Manihuruk)


No comments:

Post a Comment